Pertama-tama harus diperhatikan, bahwa hak perseorangan atas tanah dibatasi oleh hak ulayat.
Sebagai seorang warga persekutuan maka tiap individu mempunyai hak untuk:
- Mengumpulkan hasil-hasil hutan, seperti rotan dan lain sebagainya.
- Memburu binatang liar yang hidup di wilayah kekuasaan persekutuan.
- Mengambil hasil dari pohon-pohon yang tumbuh liar.
- Membuka tanah daan kemudian mengerjakan tanah itu terus-menerus.
- Mengusahakan untuk diurus selanjutnya suatu kolam ikan.
Dengan perbuatan-perbuatan khususnya yang dimaksudkan ayat c, d dan e diatas, maka terjadi suatu perhubungan perseorangan antara seorang warga persekutuan dengan masing-masing pohon, tanah dan kolam itu. Agar dimaklumi oleh warga-warga persekutuan lainya lazimnya diberikan tanda pelarangan yang yang religio-magis itu, sehingga hasil pohon, tanah ataupun kolam tersebut hanya dapat diambil oleh yang berkepentingan saja, lain orang tidak diperbolehkan mengambil hasilnya.
Jika perhubungan perseorangan ini kemudian terputu, sehingga hak perseorangan menjadi ilang,maka hak persekutuan (hak ulayat) untuk menguasai hidup kembali.
Jadi seorang warga persekutuan berhak untuk mmbuka tanah , untuk mengerjakan tanah itu terus-meneruus dan menanam pohon-pohon di atas tanah itu, sehingga ia mempunyai hak milik atas tanah itu. Hak milik ini dapat diperoleh , meskipun yang mengerjakan tanah itu praktis tidak lebih lama dari satu atau dua tahun panenan. Apabila hak mengerjakan tanah itu tidak dapat lebih lama daripada satu kali panenan saja, maka warga persekutuan yang bersangkutan sesungguhnya hanya memperoleh hak menggunakan tanah itu saja (Ter Haar menamkan ini “genotrecht”) dan bukan hak milik; hak menggunakan /memungut hasil untuk satu panen saja.Apabila kemudian tanah itu ditinggalkan dan tidak diurus lagi oleh hak ulayat.
Hak milik atas tanah dari seseorang warga persekutuan yang membuka dan mengerjakan tanah itu pengertianya adalah, bahwa warga yang mendiami tanah itu berhak sepenuh-penuhnya atas tanahnya tetapi dengan ketentuan wajib menghormati:
- Hak ulayat desanya
- Kepentingan-kepentingan orang lain yang memiliki tanah.
- Peraturan-peraturan adat seperti kewajiban memberi izin ternak orang lain masuk dalam tanah pertanianya selama tanah itu tidak dipergunakan dan tidak dipagari.
Hak milik atas tanah oini , yang dalam bahasa Belanda disebut “Inlandss bezitrecht” artinya adalah bahwa pemiliknya berkuasa penuh atas tanahnya yang bersangkutan seperti halnya ia menguasai rumah,ternak, sepeda, sepeda atau lain-lain benda miliknya.
Sawah-sawah hak milik seseorang di Jawa Barat biasanya disebut sawah yasa atau sawah milik ,sedangkan di daerah Jawa Tengah sawah demikian itu disebut sawah yasan atau sawah pusaka.
Hak milik terkekang atau terbatas atas tanah (ingeklemd inlands bezitrecht), yaitu apabila pemiliknya atas tanah tersebut dibatasi oleh hak pertuanan desa.Tergantung dari kuat atau tidaknya pengaruh dari kuat atau tidaknya pengaruh dari hak pertuanan desa tersebut.
Jika hak pertuanan masih sangat kuat, maka hampir tidak mungkin hak milik ini berpindah ke tangan orang lain, bahkan ada daerah yang hak milik itu hanya dimiliki untuk waktu yang tertentu dan pada akhir waktu itu tanahnya harus diserahkan pada lain anggota persekutuan desa.
Kalau hak pertuanan desa tidak kuat lagi pengaruhnya, maka tanah itu dapat dimiliki terus sampai wafatnya sang pemilik dan kemudian oleh persekutuan ditetapkan lagi siapa yang akan menjadi pemilik baru.
Dan apabila hak pertuanan desa itu sudah sangat lemah maka hak milik atas tanah setelah wafatnya si pemilik dengan sendirinya jatuh kepada tangan ahli warisnya, dan ini hanya dapat dicabut dalam beberapa hal , misalnya kalau si pemilik segenap keluarganya meninggalkan desa tersebut untuk selama-lamanya.
Tanah atau sawah yang dikuasai seseorang berdasarkan hak milik terbatas atau teekekang di Jawa Tengah disebut kasikepan (Cirebon, Kuningan), Konomeeran( Ciamis), Kacacahan( Majalengka)
Sesuai dengan keputusan Makamah Agung tanggal 18 Oktober 1958 Reg. No. 301K/Sip./ 1958, maka menunjukkan tanah Kepulen adalah semata-mata dari Rapat Desa, yang diberikan kepadany oleh hukum adat. Pengadilan Negeri tidak berhak meninjau tentang benar tidaknya putusan rapat desa itu.
Hak menggunakan tanah atau hak memungut hasil tanah hanya untuk satu panen saja itu, pada umumnya berlaku bagi orang luar bukan warga persekutuan yang telah mendapat izin untuk mengerjakan sebidang tanah serta setelah memenuhi syarat – syarat tertentu seperti membayar mesi (jawa) atau uang pemasukan (Aceh).
Prof. Supomo dalam Het Adatprivaatrecht van West Java halaman 168 menyebut adanya Hak Usaha atas sebidang tanah. Dan yang dimaksudkan dengan hak usaha ini adalah suatu hak yang dimiliki seseorang untuk untuk menganggap sebidang tanh tertentu sebagai tanah miliknya, asal saja ia memenuhi kewajiban – kewajiban serta menghormati pembatasan – pembatasan yang melekat pada hak itu berdasarkan peraturan untuk tanah partikelir di sebelah Barat sungai Cimanuk, Staatsblad 1912 No. 422 yo. 613
Hak Usaha ini oleh Van Vollenhoven dinamakan hak menggarap (“bouw of bewerkings recht”). Kewajiban – kewajiban apakah yang harus di penuhi oleh si pemilik hak usaha terhadap tuan tanah yang mempunyai hak eigendom atas tanah partikelir itu.
Kewajiban – kewajiban si pemilik hak usaha adalah antara lain :
a) Membayar semacam pajak yang dinamakan cukai.
b) Melakukan macam – macam pekerjaan untuk keperluan tuan tanah, seperti penjagaan desa di waktu malam, ememlihara jalan – jalan raya.
Cukai yang dimaksud di atas lazimnya berupa sebagian hasil panenan sawah yang tidak boleh melebihi seperlima dari jumlah hasil tersebut. Para pemilik hak usaha atas tanah menamakan tanah itu sebagaian tanahnya serta menganggap dirinya berkuasa penuh untuk memperlakukan tanah itu semau- maunya asal saja mereka memenuhi kewajiban – kewajiban terhadap tuan tanah seperti tersebut di atas. Bahkan menurut keputusan Pengadilan Negeri Bogor tanggal 29 Juli 1992 hak usaha itu adalah turun temurun pada ahli waris.
Oleh karena itu maka sesungguhnya hak usaha ini dapat dikatakan tidak berbeda dengan hak milik atas tanah – tanah yang bukan tanah partikelir. Hukum adat mengenai juga “hak wenang pilih” (istilah yang di pergunakan Dr. Soekanto dalam bukunya “ Meninjau Huku Adat Indonesia”). Ter Haar menyebut hak ini “voorkeursrecht” bagi perseorangan warga persekutuan yang membuka tanah ataupun yang menempatkan tanda – tanda pelarangan (pagar dan lain sebagainya) pada tanah yang bersangkutan. Hak ini memberikan kesempatan kepada warga yang pertama – tama membuka tanah serta mengerjakan tanah tertentu itu, untuk lebih dahulu.
Hak perseorangan atas tanah dalam hukum Adat dijumpai dalam 3 bentuk sebagai berikut :
a) Hak anggota keluarga untuk membeli tanah dengan mengesampingkan pembeli – pembeli bukan anggota keluarga.
b) Hak warga persekutuan untuk membeli tanah denagn mengesampingkan seorang bukan warga persekutuan.
c) Hak pemilik tanah yang berbatasan untuk membeli tanah yang bersangkutan dengan mengesampingkan pemilik tanah lain yang tidak berbatasan.
Kepala persekutuan atau lain pembesar desa mempunyai hak atas pertanian yang di berikan oleh persekutuan untuk memelihara keluarganya (tanah bengkok). Ia mempunyai hak atas penghasilan tanah itu, ia mempunyai hak mengenyam hasil tanah itu karena jabatannya. Hak ini lazimnya di sebut hak seorang pejabat atas sebidang tanah. Hak demikian ini dimiliki para pejabat baik semasa masih aktif bekerja maupun setelah dipensiun untuk selama memangku jabatannya ataupun selama hidupnya (setelah pensiun) mengenyam penghasilan dari tanah /sawah itu. Tanah / sawah jabatan ini biasa disebut “sawah carik”, “sawah kalungguhan”.
Wignjodipuro,Surojo. 1995. Pengantar dan Asas – Asas Hukum Adat. Jakarta : PT. Toko Gunung Agung.